Situasi ini bukan sekadar isu sementara. Mulai dari akhir Oktober lalu, pasokan beras premium – jenis beras berkualitas tinggi yang biasa dikonsumsi keluarga menengah ke bawah di sini – mulai menipis. Pedagang di Pasar Selatpanjang, pusat perdagangan utama di Meranti, melaporkan bahwa stok yang biasanya datang rutin dari pemasok di daratan Riau kini tertahan. Akibatnya, harga per kilogram beras premium yang semula sekitar Rp12.000-13.000 kini melonjak hingga Rp18.000-20.000. "Saya biasa beli 10 kg untuk seminggu, sekarang cuma bisa 5 kg karena harganya bikin dompet jebol," ujar Ibu Siti, seorang ibu rumah tangga di Desa Tanjung Samak.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik krisis ini? Dari pengamatan di lapangan, penyebab utamanya adalah gangguan rantai pasok akibat cuaca buruk yang menghambat transportasi laut. Kepulauan Meranti, yang bergantung pada kapal feri dan perahu motor untuk mendatangkan barang dari Pekanbaru atau Dumai, sering kali terdampak ombak besar dan hujan deras di musim pancaroba seperti sekarang. Selain itu, produksi padi lokal yang terbatas membuat wilayah ini sangat rentan terhadap fluktuasi pasokan dari luar. Petani di Meranti lebih fokus pada kelapa sawit dan perikanan, sehingga beras hampir sepenuhnya diimpor dari provinsi tetangga.
Dampaknya tak hanya dirasakan di meja makan rumah tangga biasa. Pedagang makanan seperti warung nasi goreng dan restoran kecil di sepanjang pantai Meranti juga mulai kesulitan. "Pelanggan protes karena harga menu naik, tapi mau bagaimana? Berasnya saja mahal," keluh Pak Ahmad, pemilik warung di pusat kota. Bahkan, beberapa sekolah dan pondok pesantren melaporkan kesulitan menyediakan makanan untuk siswa asrama. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga ancaman terhadap ketahanan pangan masyarakat yang mayoritas hidup dari hasil laut dan perkebunan.
Lalu, bagaimana respons pemerintah? Hingga saat ini, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kepulauan Meranti mengaku sedang berkoordinasi dengan provinsi untuk mendatangkan stok darurat. "Kami sudah minta bantuan dari Bulog untuk distribusi beras murah," kata seorang pejabat yang enggan disebut namanya. Namun, warga merasa langkah ini terlalu lambat. Program operasi pasar yang dijanjikan pekan lalu baru terealisasi di beberapa titik, dan itupun stoknya cepat habis. Di tingkat nasional, Kementerian Pertanian disebut-sebut sedang memantau situasi serupa di wilayah kepulauan lain, tapi belum ada intervensi khusus untuk Meranti.
Ini bukan kali pertama Meranti menghadapi krisis semacam ini. Tahun lalu, serupa tapi tak sama, kelangkaan minyak goreng pernah membuat warga antre panjang. Kini, dengan inflasi pangan yang terus mengintai, masyarakat berharap ada solusi jangka panjang. Mungkin pengembangan lahan padi baru di pulau-pulau kecil, atau subsidi transportasi untuk memastikan pasokan lancar. "Kami butuh aksi nyata, bukan janji manis," tegas seorang nelayan di Pelabuhan Tanjung Buton.
Bagi pembaca yang tinggal di daratan, mungkin ini terdengar jauh. Tapi bayangkan jika stok makanan pokok di kota Anda tiba-tiba hilang dari rak supermarket. Itulah yang dialami ribuan warga Meranti saat ini. Krisis beras premium ini menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan bukan hanya urusan petani, tapi tanggung jawab bersama. Pemerintah, kapan bertindak lebih cepat? Warga Meranti menunggu jawaban.
.webp)