Karhutla di Riau bukanlah hal baru. Setiap tahun, provinsi yang kaya akan hutan gambut ini sering menjadi sorotan nasional karena kebakaran yang sulit dikendalikan. Namun, tahun ini situasinya terasa lebih ekstrem. Cuaca panas yang berkepanjangan, dengan suhu rata-rata mencapai 35 derajat Celsius di siang hari, telah mengeringkan lahan-lahan yang sebelumnya lembab. Hujan yang minim sejak awal Oktober membuat tanah gambut mudah terbakar, dan angin kencang mempercepat penyebaran api. Menurut pengamatan BMKG, titik panas ini tersebar di beberapa kabupaten utama seperti Dumai, Bengkalis, dan Rokan Hilir, di mana lahan terbuka dan perkebunan sawit menjadi lokasi rawan.
Bayangkan saja: sebuah lahan gambut yang kering bisa menyala hanya karena puntung rokok yang dibuang sembarangan atau pembakaran sampah yang tidak terkendali. Itulah yang terjadi di salah satu titik panas terbaru di Bengkalis. Seorang petani setempat, yang enggan disebut namanya, menceritakan bagaimana api tiba-tiba muncul di kebunnya setelah berhari-hari tanpa hujan. "Awalnya kecil, tapi dalam hitungan jam sudah meluas. Asapnya tebal, bikin sesak napas," ujarnya saat ditemui di lokasi. Kisah seperti ini bukan sekadar cerita, tapi realitas yang dihadapi ribuan warga Riau setiap musim kemarau.
Apa yang membuat karhutla tahun ini begitu mengkhawatirkan? Pertama, faktor cuaca ekstrem yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global. BMKG mencatat bahwa El Niño lemah masih berpengaruh, menyebabkan curah hujan di bawah normal. Kedua, aktivitas manusia tetap menjadi pemicu utama. Pembukaan lahan untuk pertanian atau perkebunan sering dilakukan dengan cara membakar, meskipun sudah dilarang oleh pemerintah. Ketiga, kondisi tanah gambut yang unik di Riau membuat api sulit dipadamkan. Gambut bisa membara di bawah tanah selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, dan meledak kembali saat angin bertiup.
Dampaknya pun tidak main-main. Asap tebal dari karhutla tidak hanya mengganggu kesehatan warga lokal, tapi juga menyebar ke provinsi tetangga seperti Sumatera Barat dan bahkan hingga ke Singapura dan Malaysia. Ribuan hektare hutan hilang setiap tahun, mengancam keanekaragaman hayati seperti habitat orangutan Sumatera dan harimau. Ekonomi pun terpukul: petani kehilangan hasil panen, penerbangan terganggu karena jarak pandang rendah, dan biaya pemadaman mencapai miliaran rupiah. Tahun lalu saja, karhutla di Riau menyebabkan kerugian hingga triliunan, dan tahun ini potensinya lebih besar jika tidak segera diatasi.
Untungnya, pemerintah daerah dan pusat tidak tinggal diam. Satuan Tugas (Satgas) Karhutla Riau telah dikerahkan, lengkap dengan helikopter water bombing dan tim pemadam darat. Gubernur Riau telah menginstruksikan seluruh bupati untuk memantau lahan rawan dan melarang pembakaran ilegal. BMKG, sebagai lembaga yang memantau cuaca secara real-time, terus mengupdate data titik panas melalui satelit dan stasiun pengamatan. "Kami imbau warga untuk siaga. Laporkan segera jika melihat asap atau api, dan hindari aktivitas yang bisa memicu kebakaran," kata Kepala BMKG Stasiun Pekanbaru dalam konferensi pers kemarin.
Bagi warga Riau, ini saatnya bertindak. Bagaimana caranya? Pertama, edukasi diri dan keluarga tentang bahaya karhutla. Jangan pernah membakar sampah atau lahan sembarangan – gunakan metode kompos atau daur ulang. Kedua, pantau informasi cuaca dari BMKG melalui aplikasi resmi atau media lokal. Ketiga, ikut serta dalam patroli masyarakat yang digagas oleh desa-desa rawan. Keempat, persiapkan masker dan obat-obatan untuk menghadapi asap tebal, terutama bagi anak-anak dan lansia yang rentan terhadap infeksi pernapasan.
Karhutla bukan hanya masalah pemerintah, tapi tanggung jawab bersama. Dengan 18 titik panas yang sudah terdeteksi, ini adalah panggilan untuk bertindak sebelum api semakin mengganas. Mari kita jaga Riau dari bencana ini, demi masa depan yang lebih hijau dan sehat. Tetap waspada, dan ingat: pencegahan selalu lebih baik daripada pemadaman.
.webp)