Aksi ini bukan sekadar demonstrasi biasa. Ini adalah puncak dari kekecewaan yang telah lama terpendam di kalangan petani dan warga lokal di Provinsi Riau. Banyak dari mereka mengklaim bahwa lahan-lahan produktif mereka telah dirampas oleh oknum-oknum berpengaruh, yang diduga bekerja sama dengan pejabat daerah untuk mengubah status tanah menjadi proyek komersial. "Kami sudah capek diam saja. Tanah kami dirampas, tapi hukum seolah buta," ujar salah seorang koordinator aksi, Budi Santoso, saat ditemui di lokasi.
Latar Belakang Konflik Mafia Tanah di Riau
Provinsi Riau, yang dikenal kaya akan sumber daya alam seperti minyak sawit dan hutan tropis, sering kali menjadi arena perebutan lahan. Menurut catatan aktivis lingkungan, sejak awal 2020-an, kasus sengketa tanah di wilayah ini meningkat tajam. Banyak lahan milik masyarakat adat atau petani kecil yang tiba-tiba berpindah tangan ke perusahaan besar tanpa prosedur yang transparan.
Kasus terbaru yang menjadi pemicu aksi hari ini melibatkan sebuah kawasan di Kabupaten Siak, di mana sekitar 500 hektare tanah sawah produktif diduga dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit milik swasta. Warga setempat mengaku dokumen kepemilikan mereka diabaikan, dan ada indikasi keterlibatan pejabat tinggi di Pemprov Riau. "Ini bukan lagi soal hak milik, tapi korupsi sistematis yang melibatkan mafia tanah," kata seorang pakar hukum lingkungan dari Universitas Riau, yang enggan disebut namanya.
Dugaan ini semakin kuat setelah beredar dokumen internal yang bocor ke publik, menunjukkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 150 miliar. Uang itu diduga mengalir ke rekening pribadi oknum pejabat untuk memperlancar proses perizinan. Tak heran jika massa menuntut KPK, lembaga antikorupsi nasional, untuk melakukan penyidikan mendalam. "Kami butuh keadilan dari pusat, karena di daerah ini sudah terlalu banyak kepentingan yang saling melindungi," tambah Budi.
Kronologi Aksi Unjuk Rasa yang Memanas
Aksi dimulai sekitar pukul 08.00 WIB, ketika ratusan demonstran berkumpul di depan gerbang Kantor Gubernur di Jalan Sudirman, Pekanbaru. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Usut Mafia Tanah Riau!" dan "KPK Turun ke Riau Sekarang!". Orasi bergantian disampaikan, menyoroti bagaimana mafia tanah telah membuat ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian.
Situasi mulai memanas sekitar pukul 10.00 WIB, ketika perwakilan demonstran meminta audiensi dengan Gubernur Riau, Ansar Ahmad. Namun, permintaan itu tak kunjung direspons. Kekecewaan memuncak, dan sebagian massa mulai mendorong pagar besi hingga roboh. Polisi yang berjaga segera turun tangan, menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan kerumunan. Setidaknya lima orang demonstran mengalami luka ringan, dan dua orang ditangkap karena dianggap provokator.
Gubernur Ansar Ahmad, melalui juru bicaranya, menyatakan bahwa pemerintah daerah siap berdialog. "Kami menghargai aspirasi masyarakat, tapi aksi anarkis tidak bisa ditolerir. Kami akan investigasi internal soal dugaan mafia tanah ini," katanya dalam konferensi pers singkat sore tadi. Namun, pernyataan itu dianggap angin lalu oleh demonstran, yang bersikeras hanya percaya pada KPK.
Dampak Ekonomi dan Sosial bagi Masyarakat Riau
Konflik ini tak hanya soal kerusakan pagar kantor gubernur. Lebih dalam lagi, mafia tanah di Riau telah menimbulkan dampak ekonomi yang parah. Petani yang kehilangan lahan terpaksa beralih profesi, banyak yang menjadi buruh harian atau bahkan menganggur. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Riau menunjukkan, tingkat kemiskinan di kawasan pedesaan meningkat 15% dalam dua tahun terakhir, sebagian karena sengketa lahan.
Secara sosial, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah semakin menipis. "Ini bisa memicu konflik horizontal jika tak segera diselesaikan," ujar seorang sosiolog dari lembaga penelitian independen di Pekanbaru. Selain itu, lingkungan juga terancam. Pengalihan lahan sawah menjadi perkebunan sering kali mengabaikan aspek ekologis, menyebabkan banjir dan degradasi tanah.
Apa Selanjutnya? Harapan pada KPK dan Langkah Pencegahan
Demonstran berjanji akan melanjutkan aksi jika tuntutan mereka tak dipenuhi. "Kami siap turun ke jalan lagi besok, sampai KPK datang," tegas Budi. Sementara itu, KPK melalui humasnya menyatakan sedang memantau situasi di Riau. "Kami akan mengevaluasi laporan masyarakat dan berkoordinasi dengan aparat setempat," kata juru bicara KPK.
Untuk mencegah kasus serupa, pemerintah daerah diminta segera mereformasi sistem perizinan tanah. Transparansi melalui platform digital, seperti aplikasi pemantauan lahan online, bisa menjadi solusi. Selain itu, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan juga penting untuk menjaga keadilan.
